'Gusjigang' Sunan Kudus Melintas Zaman

Kompas.com - 02/08/2011, 12:22 WIB

Oleh: Hendriyo Widi dan M Burhanudin

Dahulu dan sekarang, Menara Kudus dan Masjid Al Aqsha yang dibangun Sunan Kudus menjadi sentral nadi kehidupan masyarakat Kudus. Kedua bangunan yang memadukan arsitektur Jawa, Islam, Hindu, dan China itu menjadi saksi sekaligus pengingat abadi tumbuh dan berkembangnya filosofi Sunan Kudus, "Gusjigang". 

   Gus berarti ’bagus’, ji berarti ’mengaji’, dan gang berarti ’berdagang’. Melalui filosofi itu, Sunan Kudus menuntun pengikutnya dan masyarakat Kudus menjadi orang yang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan mau berusaha atau berdagang.

   Ajaran itu berpengaruh terhadap tata laku warga sekitar masjid yang kini dikenal dengan Kudus Kulon sebagai masyarakat agamis yang pintar berdagang. Keberadaan masjid yang dekat dengan pasar pun memperkuat prinsip ”gusjigang”.

   Kudus Kulon menjadi embrio perkembangan kota Kudus. Wilayah ini kini meliputi Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, dan Kajeksan. Desa-desa itu mengitari Masjid Kudus sebagai episentrum sosial, ekonomi, budaya, sekaligus keagamaan. Sekitar masjid bukan hanya menjadi pusat kegiatan agama, di sana menjadi pasar bertemunya pedagang dan pembeli.

   Namun, seiring dengan perkembangan zaman, filosofi tersebut tergeser dari makna aslinya. Kepribadian bagus, tekun mengaji, dan berdagang tak lagi duduk sejajar. Berdagang untuk mencari keuntungan menjadi prioritas dan diunggulkan, seiring dengan semakin rentanya bangunan masjid, menara, dan makam Sunan Kudus.

Metamorfosis kota lama
   Hal itu tidak terlepas dari metamorfosis kota lama atau Kudus Kulon. Dalam makalah ”Arsitektur dalam Perubahan Kebudayaan Studi Kasus Arsitektur Rumah Tradisional Kudus” yang ditulis Prof Eko Budiharjo bersama timnya, permukiman dan kehidupan sosial-ekonomi di kota tua Kudus mengalami perubahan dari masa ke masa.

   Pada zaman Hindu-Buddha, rumah penduduk terbuat dari bambu dan kayu, sedangkan tempat peribadatan dari batu bata. Masyarakat pada waktu itu masih bergantung pada pertanian dan perikanan sungai.

   Pada zaman pengembangan Islam, Sunan Kudus mulai menata kota tua Kudus. Kota itu berpusat pada Masjid Menara Kudus yang di dekatnya terdapat kompleks pedepokan Sunan Kudus. Kemudian, di sekelilingnya merupakan rumah-rumah penduduk beratap limasan. Ekonomi kota juga mulai menggeliat dengan dibukanya perdagangan lintas negara melalui Sungai Gelis yang membelah kota lama Kudus.

   Pada masa Mataram Islam, permukiman di kota tua sudah banyak berubah menjadi joglo atau gebyok berbahan baku jati. Kemudian pada periode Kolonial Belanda, rumah-rumah itu mendapat sentuhan Eropa dengan penggunaan elemen-elemen nonkayu dan tembok-tembok pembatas yang tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com