Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Dewan Jenderal, Hoaks yang Memicu Peristiwa G30S PKI

Kompas.com - 28/09/2022, 06:00 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Peristiwa G30S diduga dipicu dari kabar burung yang mengatakan adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Sukarno.

Isu soal adanya Dewan Jenderal diembuskan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Mengutip Jenderal TNI anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008) karya Dasman Djamaluddin, sebelumnya PKI telah melancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Menurut PKI, kudeta terhadap Presiden Sukarno dilakukan dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada 5 Oktober 1965.

Baca juga: Di Mana Soeharto Saat Peristiwa G30S/PKI, Kenapa Tidak Ikut Diculik?

Isu Dewan Jenderal dibantah Ahmad Yani

Isu mengenai adanya Dewan Jenderal dibantah oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani seperti disebutkan dalam buku Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional

Menurut Ahmad Yani, kelompok ini sebenarnya bernama resmi Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) dan hanya berfungsi sebagai penasihat bagian kenaikan pangkat dan jabatan dalam Angkatan Darat.

Tugasnya adalah membahas kenaikan pangkat dan jabatan dari kolonel ke brigjen dan dari brigjen ke mayjen dan seterusnya.

Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti
jenazah almarhum Jenderal Sutojo Siswomihardjo dan enam rekannya yang gugur dalam Peristiwa 1 Oktober 1965. Pagi 5 Oktober 1965, hari ulang tahun Angkatan Bersenjata yang biasanya gilang-gemilang, saat itu kelabu, demikian kata-kata pengantar Jenderal Nasution. Tujuh peti jenasah berangkat beriringan dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Adegan dalam foto ini muncul dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI dalam bentuk dokumentasi aslinya. (Foto: koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo, dimuat dalam buku Kenangan tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965 terbitan Penerbit Buku Kompas, 2013).  Koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti jenazah almarhum Jenderal Sutojo Siswomihardjo dan enam rekannya yang gugur dalam Peristiwa 1 Oktober 1965. Pagi 5 Oktober 1965, hari ulang tahun Angkatan Bersenjata yang biasanya gilang-gemilang, saat itu kelabu, demikian kata-kata pengantar Jenderal Nasution. Tujuh peti jenasah berangkat beriringan dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Adegan dalam foto ini muncul dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI dalam bentuk dokumentasi aslinya. (Foto: koleksi pribadi Nani Nurrachman Sutojo, dimuat dalam buku Kenangan tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965 terbitan Penerbit Buku Kompas, 2013).

Kabinet Dewan Jenderal 

Dikutip dari Harian Kompas, 9 Februari 2001, isu ini muncul dari kebocoran sebuah dokumen menyebut Dewan Jenderal sedang bersiap melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965 di kalangan PKI.

Disebutkan bahwa anggota Dewan Jenderal terdiri dari 25 orang. Penggerak utamanya adalah Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, dan Brigjen Soekendro.

Susunan kabinet Dewan Jenderal "karangan" PKI terdiri dari:

  • Perdana Menteri: Jendral A.H. Nasution
  • Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani
  • Menteri Dalam Negeri: R.M. Hadisubeno Sosrowerdojo (Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mantan Walikota Semarang)
  • Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus Partai Nasional Indonesia)
  • Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
  • Menteri/Jaksa Agung: Mayjen S. Parman
  • Menteri Agama: K.H. Rusli
  • Menteri/Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)
  • Menteri/Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui
  • Menteri/Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin
  • Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol. Jasin. 

Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?

Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, 2 kiri dengan kacamata hitam di Lubang Buaya, 6 Oktober 1965. Foto AP Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, 2 kiri dengan kacamata hitam di Lubang Buaya, 6 Oktober 1965.

Keterlibatan PKI dalam G30S

Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) menulis, Dipa Nusantara Aidit memimpin badan rahasia dalam PKI dengan nama Biro Chusus (BC) PKI.

Badan ini dirancang sebagai intelijen yang menghimpun informasi dari para perwira militer simpatisan PKI. Pada zamannya, tiap partai dan kelompok politik punya jaringan serupa dalam militer.

Termasuk pembahasan dalam rapat BC PKI adalah menyikapi adanya isu Dewan Jenderal. 

Informasi dari BC PKI penting untuk menentukan apakah PKI akan bertindak sebelum kudeta terjadi atau menunggu.

Berdasarkan rapat dengan para perwira militer, Kepala BC PKI Syam Kamaruzaman menyimpulkan pihak militer siap melancarkan langkah untuk mencegah kudeta Dewan Jenderal.

Soeharto (kiri) dan Soekarno (kanan)Dok. KOMPAS/Istimewa Soeharto (kiri) dan Soekarno (kanan)

Langkah yang dilakukan yakni dengan menculik sejumlah jenderal yang disebut akan melakukan kudeta untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. 

Sayangnya, persiapan dan koordinasi tak dilakukan dengan matang. PKI mengira pihaknya hanya membantu tentara. Sebaliknya, tentara mengira mereka hanya mengikuti PKI.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, rakyat Indonesia dikejutkan oleh siaran RRI Jakarta yang memberitakan tentang pengumuman suatu kelompok yang mengklaim sebagai Gerakan 30 September di bawah komando Letnan Kolonel Untung, Komandan Cakrabirawa.

Untung juga mengangkat diri sebagai Ketua Dewan Revolusi sekaligus memimpin G30S dengan tujuan melindungi Presiden Soekarno.

Baca juga: Di Mana Soeharto Saat Peristiwa G30S/PKI, Kenapa Tidak Ikut Diculik?

Dokumen Gilchrist dan intel asing dalam G30S?

Tangkapan layar Harian Kompas 6 Oktober soal Peristiwa G30SHarian Kompas Tangkapan layar Harian Kompas 6 Oktober soal Peristiwa G30S

Pembahasan masalah Dewan Jenderal tidak dapat dipisahkan dengan persoalan Dokumen Gilchrist.

Dokumen ini menurut Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu Subandrio diterimanya lewat pos, dialamatkan kepada BPI pada 15 Mei 1965.

Dokumen Gilchrist merupakan sepucuk surat yang diketik pada formulir yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris di Jakarta. Nama pembuat surat adalah Sir Andrew Gilchrist. Duta Besar Inggris (1963- 1966) untuk Indonesia.

Dalam buku Menyingkap Kabut Halim, dinyatakan bahwa dokumen tersebut tidak bertanda tangan.

Sebaliknya, wartawan senior Rosihan Anwar mengemukakan bahwa Dokumen Gilchrist ditemukan tanda tangan dan tulisan di pinggir dari Dubes Gilchrist, tetapi tidak cocok dengan tanda tangan yang sebenarnya.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Dokumen Gilchrist yang ditemukan di rumah Bill Palmer adalah palsu.

Surat yang terkesan dibuat oleh Dubes Gilchrist itu ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris.

Isinya berupa laporan tentang kordinasi antara Gilchrist dan Dubes Amerika mengenai rencana mereka berdua untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dengan bantuan our local army friends.

Dokumen itu disertai surat pengantar yang menyatakan adanya pengiriman dokumen penting bagi revolusi. Selanjutnya dokumen itu oleh Subandrio diserahkan kepada Brigjen Pol. Soetarto, Kepala Staf BPI untuk diperiksa.

Ternyata Soetarto tidak memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes Laboratorium Kriminal Angkatan Kepolisian. Soetarto menyatakan bahwa dokumen tersebut otentik.

Pada 25 Mei 1965 dokumen diserahkan oleh Subandrio kepada Presiden Sukarno.

Keesokan harinya diadakanlah rapat di Istana yang dihadiri oleh para panglima keempat angkatan. Men/Pangau yang berhalangan hadir, diwakili oleh Laksda Sri Moeljono Herlambang.

Dalam kesempatan itu Presiden menanyakan kepada Letjen A.Yani, apakah ada anggota Angkatan Darat yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika. Letjen A. Yani menjawab. "Tidak ada".

Seusai rapat di Istana Merdeka 26 Mei 1965, sebenarnya masalah Dokumen Gilchrist itu telah dijernihkan oleh Ahmad Yani.

(Sumber: Kompas.com/Arum Sutrisni Putri, Nibras Nada Nailufar | Editor : Heru Margianto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com