Muhammadiyah Nilai Gejala Pereziman Agama Menguat, Akan Dibahas di Muktamar Solo

Kompas.com - 08/11/2022, 15:16 WIB
Vitorio Mantalean,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Muhammadiyah akan mengangkat rezimentasi agama atau pereziman agama sebagai salah satu isu strategis yang bakal dibahas dalam muktamar ke-48 mereka di Solo, Jawa Tengah, 19-20 November 2022.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti menjelaskan, rezimentasi agama ini semakin nampak gejalanya di Indonesia belakangan ini.

Konsep rezimentasi agama ini merujuk pada fenomena persekongkolan paham tertentu dari sebuah agama dengan negara, membuat paham tertentu memiliki kedudukan lebih dominan dan menentukan daripada paham lainnya.

"Gejalanya sudah sangat, makanya karena ada gejala itu, Muhammadiyah mengangkat itu sebagai isu keagamaan," kata Mu'ti pada Senin (7/11/2022) malam.

Baca juga: Muhammadiyah Desak Negara hingga Ormas Jaga Jarak dengan Politik Praktis Jelang 2024

'Misalnya, sekarang kan ada, mohon maaf, labeling-labeling tertentu dan kemudian sempat beberapa isu terakhir, misalnya, paham tertentu tidak boleh ada di Indonesia dan sebagainya, dan itu yang mengumumkan kan ormas. Kadang-kadang negara juga mengikuti pernyataan-pernyataan itu," jelasnya.

Mu'ti tidak secara terang menjelaskan kejadian yang dimaksud. Namun, belum lama ini, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) menerbitkan rekomendasi agar pemerintah melarang paham Wahabi/Wahabisme di Indonesia.

Rekomendasi itu belakangan dianulir Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyebutnya sebagai rilis sepihak tanpa persetujuan pimpinan NU.

Muhammadiyah menganggap, fenomena rezimentasi agama ini dapat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang bukan negara agama, juga bukan negara sekuler.

Baca juga: Ketua PP Muhammadiyah Minta Politikus Berlaku sebagai Negarawan pada Pemilu 2024

Mereka mengungkit pemerintahan Bani Abbasiyah pada Zaman Pertengahan sebagai contoh, bahwa paham agama rasional pun, ketika diformalkan lewat kekuatan negara--bahkan sampai memaksakannya melalui "screening" warga yang menganut paham lain--pada akhirnya berdampak buruk bagi kemajemukan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengakui bahwa isu rezimentasi agama diharapkan dapat memunculkan wacana baru, selain wacana-wacana soal radikalisme dan ekstremisme serta politisasi berbasis agama.

Menguatnya rezimentasi agama dikhawatirkan akan menimbulkan konflik runcing bukan antarkelompok agama secara horizontal, melainkan antara kelompok agama versus kelompok agama lain yang dibekingi negara.

Baca juga: Forum Agama R20: Batu Loncatan Penting Wujudkan Mimpi NU, Jalan Masih Panjang

"Kita juga melihat ada juga problem yang disebut rezimentasi agama, di mana agama secara bias, atau agama secara tendensius, dan agama juga secara subjektif golongan, itu terlalu intim bersenyawa dengan negara. Ini bagi kami berlawanan dengan dasar konstruksi ide dan cita-cita Indonesia sebagai negara Pancasila," jelas Haedar dalam acara Press Gathering jelang muktamar, Senin malam.

"Menjadikan (Indonesia) negara agama (bisa dilakukan) bukan sekadar (menjadikan) negara berdasarkan agama tertentu, tetapi juga menjadikan paham, mazhab agama tertentu atau kekuatan agama tertentu, mendominasi negara dan bersenyawa dengan negara dalam politik," lanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com