Kisah Waris Istana Pagaruyung

Kompas.com - 16/04/2009, 00:36 WIB

Oleh Agnes Rita Sulistyawaty

Puti Reno Raudhatuljannah Thaib ingat betul betapa sejuknya hawa di rumah gadang yang ditudungi ijuk sebagai atapnya. Selain menyerap panas, ijuk juga awet sampai puluhan tahun dan mudah dibentuk mengikuti lekuk rumah gadang.

Ijuk itu seperti menahan hawa panas dari luar. Jadi, yang tersisa tinggal hawa sejuk di dalam rumah. Untuk mendapatkannya juga mudah karena ijuk berasal dari tumbuhan enau," ujar Upik, sapaan Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, pewaris Istana Pagaruyung di Sumatera Barat ini.

"Enau ini tanaman endemik di Indonesia. Orang-orang tua melihat dari apa yang ada untuk dimanfaatkan, termasuk ijuk untuk atap rumah. Pastilah ini melalui proses trial and error, sebelum mereka memilih ijuk untuk atap rumah," tambahnya.

Untuk rumah gadang seukuran Istana Pagaruyung-yang terbakar akhir Februari 2007-kebutuhan ijuk mencapai 200 ton. "Kalau melihat kebutuhan yang besar itu, saya sempat bingung dari mana mendapatkannya," kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas itu.

Dia bingung lantaran perkembangbiakan enau membutuhkan waktu lama. Selama ini, petani memakai cara alami untuk menambah jumlah tanaman enau dengan menanam bijinya. Padahal, biji enau mempunyai masa tidur (dorman) sampai setahun. Referensi perkembangbiakan atau informasi umum tentang budidaya enau juga masih minim.

Kalaupun ada "teknologi" alami yang bisa mengurangi masa tidur, petani hanya mengandalkan musang. Hewan ini biasa mengonsumsi biji enau dan mengeluarkannya lagi bersama kotoran. Selama proses di perut musang ini ada zat yang menyebabkan dorman enau bisa berkurang. Sayangnya, populasi musang juga semakin berkurang.

Berangkat dari keingintahuan cara perkembangbiakan enau secara lebih cepat, Upik meneliti enau di laboratorium dan lapangan sejak mengambil gelar S-2 pada tahun 1997. Tahun 2007 ia berhasil mendapatkan formula mengurangi masa tidur enau, sekaligus membuka pintu menuju kultur jaringan dan rekayasa genetika enau.

"Masa dorman enau bisa dikurangi sampai 141,07 hari. Jumlah tanaman baru yang dihasilkan juga tak hanya satu batang, tetapi antara 6-21," kata Upik yang tahun 2007 juga meraih gelar doktor dari Universitas Andalas lewat penelitian ini. Tetapi, perempuan yang menyelesaikan S-3 pada usia 60 tahun ini menambahkan, temuannya masih awal dan belum bisa diaplikasikan oleh petani.

Sosio-kultural

Ketertarikan Upik pada enau dimulai dari lingkungan masa kecilnya di Istana Pagaruyung. Di sini pohon enau dianggap liar, meski hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan masyarakat setempat.

Enau tak hanya diambil ijuknya, tetapi juga disadap niranya untuk bahan baku pembuatan gula aren, atau dijadikan suguhan untuk diminum langsung. Ketika melakukan penelitian di Kanagarian Andaleh Baruah Bukik, Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, nira menjadi suguhan gratis bagi pendatang. Adapun gula arennya dipakai untuk hampir semua masakan Minang.

Daun enau tak dibuang begitu saja. Daun enau yang telah dihilangkan lapisan lilinnya dipakai untuk pembungkus rokok. Upik tahu persis bagaimana cara menghilangkan lapisan lilin itu.

Dari prinsip dasar bahan bakar nabati, ia yakin enau berpotensi sebagai bahan bakar alternatif, mengingat kandungan karbohidratnya tinggi. Hanya saja, siapa yang akan memikirkan cara mengolah enau?

"Ketertarikan saya pada enau tak bisa lepas dari masalah sosial-budaya karena berbagai persentuhan saya dengan enau, selain pertimbangan sosial-ekonomi," ujarnya.

Pertimbangan kedekatan masyarakat dengan jenis tanaman ini, kata Upik, seharusnya menjadi pola pemerintah agar berhasil melaksanakan program penanaman pohon. "Kalau masyarakat hanya disuruh, program tak akan berhasil karena mereka tak tahu manfaat pohon itu," papar Upik yang juga dikenal sebagai penyair bernama samaran Upita Agustine.

Lebih jauh Upik melihat bahwa masyarakat Minang tak sekadar menganggap enau sebagai pohon yang memberi penghasilan ekonomi, tetapi juga sebagai salah satu tumbuhan konservasi. Hukum adat di masyarakat Minangkabau melindungi tumbuhan yang ada di hutan, termasuk enau. Tumbuhan seperti ini tidak boleh ditebang sembarangan.

Dia berpendapat, ada nilai pelestarian lingkungan yang dianut masyarakat sejak dulu, apalagi enau terkenal sebagai tumbuhan yang bisa hidup pada kemiringan tanah sampai 20 persen, serta sebaran akar serabut hingga 10 meter dengan kedalaman tiga meter.

"Sayang kearifan lokal itu makin luntur. Siapa yang punya uang bisa seenaknya menebang pohon, maka yang terjadi banyak bencana," kata keturunan ke-13 Raja Pagaruyung tersebut.

Kesempatan setara

Perihal kearifan lokal yang semakin luntur jugalah yang mendorong Upik untuk mengasah ilmu dan memperluas wawasan. Apalagi, kesempatan menempuh pendidikan tinggi tak lepas dari budaya keluarga Upik dan lingkungan Minang pada umumnya, yang menganut kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki untuk berkembang. "Rasanya salah kalau saya menyia-nyiakan kesempatan itu."

Seluruh ilmu dan pengetahuan yang diperoleh membawa dia pada kesimpulan baru tentang adat. "Perlu redefinisi lagi, mendudukkan adat dan budaya pada konteks saat ini agar generasi muda tertarik dan paham tujuan adat serta budaya itu," kata penyandang gelar Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung ini.

Dia mencontohkan, meskipun sudah dewasa, anak-anaknya harus menyempatkan diri bertemu dengan saudara-saudara, terutama mereka yang usianya lebih tua. Dengan demikian, selain silaturahmi tetap terjaga, tata cara sopan santun pun tidak hilang.

Sebagai keluarga raja, Upik memandang hal ini sebagai salah satu tanggung jawab yang merentang di pundaknya. Ia menjalani tanggung jawab itu dengan senang hati. Pergelutan dengan enau menjadi salah satu "buahnya".
   
MENYANDANG GELAR

Puti Reno Raudhatuljannah Thaib lahir di Pagaruyung, 31 Agustus 1947, dari orangtua Sutan Muhammad Thaib dan Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang. Sebagai bagian dari keluarga Ahli Waris Daulat Raja Pagaruyung, Upik dan lima saudara perempuan di kaumnya berhak menyandang gelar Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung, setelah sang ibunda wafat.

Pendidikan hingga SMA diselesaikan Upik di Batusangkar, hingga tahun 1965. Tahun 1975 ia merampungkan pendidikan sarjana pertanian di Universitas Andalas. Pada tahun 1997 dia meraih S-2, diikuti gelar doktor tahun 2007. Tumbuhan enau menjadi fokus penelitiannya untuk meraih S-2 maupun S-3.

Tahun 1978 Upik menikah dengan sastrawan Wisran Hadi (62). Mereka dikaruniai tiga putra, yakni Sutan Ahmad Riyad (27), Sutan Muhammad Ridha (26), dan Sutan Muhammad Thoriq (23).

Ia tidak hanya dikenal sebagai dosen dan peneliti bidang benih, tetapi Upik juga menjadi penyair dengan nama samaran Upita Agustine. Salah satu buku kumpulan puisi karyanya berjudul Nyanyian Anak Cucu yang lahir pada tahun 2000.

Nama Upik melekat sebagai nama panggilannya, kendati nama itu sebenarnya adalah panggilan bagi anak perempuan di wilayah tersebut pada umumnya. Dia memilih nama samaran Upita Agustine karena ada kemiripan dengan sebutan Upik dan bulan Agustus sebagai bulan kelahirannya.


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com